November 2007, hari itu aku membawa keluarga kecilku keluar dari
kampung halaman yang hampir sebagian besarnya dihuni oleh keluargaku sendiri. Tidak
terlalu jauh jaraknya, hanya berpindah dari desa menuju perkotaan dengan jarak
tempuh dua sampai tiga jam dengan kecepatan maksimal. Dengan membawa barang
yang tidak terlalu banyak karena sebagian telah terjual bersama rumahku.
Aku akui memang sangat berat meningglkan kampung halaman beserta
orang-orang yang sangat berarti dalam hidupku, terutama Ibuku. Saat-saat
terakhir aku berpamitan dengan ibu, ia berucap dalam tangisnya, “nak, jaga
baik-baik keluargamu dan anak-anakmu.” Tak banyak yang ibu berikan padaku
melainkan hanya do’a dan sehelai sarung batik miliknya, kemudian aku beranjak
pergi.
Kini aku melanjutkan hidupku bersama keluarga kecilku yang deminya
aku rela meniggalkan semua harta, kampung halaman dan bahkan keluargaku. Bukan
untuk menjauh, melainkan demi keselamatan keluargaku sendiri. Sedikit bercerita
tentang sebab mengapa aku memilih meninggalkan semuanya demi keselamatan
keluarga kecilku. Kita semua tau kampung yang masih kental dengan berbagai
adat, kebiasaan, hingga ilmu-ilmu yang dianut oleh penduduknya, bahkan ilmu
hitam (sesat) sekalipun.
Beberapa tahun setelah pernikahanku dengan wanita yang sangat aku sayangi, kami baru dikarunia
tiga orang anak, dua laki-laki dan satu perempuan. Aku medapatkan pekerjaan
yang memang sesuai dengan profesiku, begitu juga istriku memulai bisnis
kecil-kecilannya yakni berjualan pakaian. Selang beberapa bulan Allah memberi
kami rezeki yang lebih dan dengan itu kami sepakat untuk membangun rumah, tidak
terlalu besar hanya berukuran 4x11.
Menyusul dengan acara khataman Qur’an anak pertamaku dengan
menyembelih satu ekor sapi, lalu kami membuka bisnis rumahan yakni toko
sederhana, serta membeli motor agar mempermudah pekerjaan dan bisnis istriku.
Tak cukup itu semua, Allah mengaruniai kami lagi dengan seorang anak perempuan,
yang kemudian Aqiqohnya diselenggarakan dirumah baru kami. Dibalik itu semua
istriku selalu mengingatkan jangan lupa bersyukur kepada Allah SWT atas semua
yang telah IA berikan.
Hingga pada suatu hari, anak keempat kami jatuh sakit, bisnis merosot,
serta banyak kejadian-kejadian ganjil yang terjadi dikeluargaku.tak sampai
disitu, istriku sempat mendengar dari beberapa warga kampung tentang isu-isu
mengenai keluarga kami yang serba berkecukupan. Bahkan saat istriku sedang
berjualan pakaian keliling salah seorang warga bertanya kepadnya, “bu, ibu
pakai ilmu apa sampai jadi kaya begitu, ibu pakai ilmu hitam ya?”. Istriku
kaget mendengarnya, lansung kembali kerumah dengan air mata bercucuran.
Dengan keadaan yang sangat rumit untuk keluarga kami, ditambah
anakku yang tak kunjung sembuh. Kami memutuskan untuk mengundang salah seorang
ustadz yang masih termasuk keluarga kami juga. Saat sedang berbincang-bincang
diruang tamu kejadian aneh terjadi, tiba-tiba saja paku berukuran 7cm yang
telah berkarat jatuh diatas meja kaca tepat ditengah-tengah kami.
Bebrapa hari setelah itu banyak kejadian aneh yang terjadi, dan pada
suatu sore, aku sedang membersihkan taman bunga milik istriku, karena melihat
bunga yang paling besar ditaman tersebut
tiba-tiba layu dan mati. Setelah menggali hingga ke akar, sangat terkejut dengan apa yang aku
temukan dibawah bunga tersebut. Sebuah benda yang terbungkus dengan kain kafan
dan terikat seperti mayat. Ternyata benda tersebut berisikan tulang manusia,
jarum, potongan benang, potongan surat yasin, dan beras pulut tiga warna, serta
bebrapa helai rambut manusia.
Halaman rumahku ramai sore itu, hingga menjelang matahari terbenam,
ustadz yang kerap disapa tete atek (tete dalam Bahasa kami yang artinya kakek),
datang kerumahku, begitu juga keluarga dan orang-orang terdekatku. Bercerita mengenai
hal tersebut, dan kejadian-kejadian yang telah banyak terjadi di rumahku dan
keluargaku. Menurut beberapa orang tua didalam keluargaku yakni ada orang yang
telah iri hati pada keluargaku, hingga melakukan hal tersebut dan mengakibatkan
banyak masalah yang terjadi dalam keluargaku, bahkan keputusan akhir dari
diskusi malam itu bahwa jika tidak segera meniggalkan rumah ini maka harta
benda kami akan lenyap atau anggota keluargalah yang lenyap (meniggal). Tanpa
berfikir panjang aku lebih memilih keselamatan keluargaku dan pergi meniggalkan
rumahku.
Kami melanjutkan hidup dikota, tidak terlalu lama tingaal
diperkotaan, kurang lebih dua tahun, aku memutusakan untuk membawa keluargaku
hidup dirantauan orang. Berpindah menuju Kalimantan yang dekat dengan
perbatasan Malaysia-indonesia. Dan memulai semuanya kembali dari awal bersama
istri dan anak-anakku. Dengan bekal pengalaman yang kumiliki, aku berusaha
menghidupi keluargaku dengan seadanya. Hingga Allah kembali memberi
pertolonganNYA, aku mendapat pekerjaan yang lagi-lagi sesuai dengan profesiku.
Hidup bertahun-tahun dikampung orang dan belum pernah kembali
kekampung halaman, dengan pendapatanku yang bisa dibilang lumayan, keadaan
keluargaku kembali membaik. Aku mulai sibuk dengan pekerjaanku dan bisa
dibilang aku tidak lagi memikirkan keluargaku dikampung. Hingga pada suatu hari
ada hal-hal yang mengganjal perasaanku, dengan hasil keringatku yang memadai.
Aku berfikir, apa yang telah aku hasilkan? Dari semua pendapatanku, aku merasa
seperti tidak merasakan hasil keringatku selama ini. Ada apa dibalik semua
ini?.
Kembali memikirkan semua yang telah aku perbuat, hingga terbesit
satu nama dalam benakku, orang yang sangat bersikeras melarangku untuk merantau
hingga keluar pulau, apalagi sampai mendekati negara tetangga. Namun aku tetap
pergi membawa keluargaku merantau.
Ibuku, dengan mata yang mulai mengalirkan air dan sambil melafazkan
“maafkan aku buk”. Dengan dikuatkan oleh istriku, kami berencana untuk segera
mengunjungi ibuku yang sekian lama tidak pernah aku hubungi. Dengan sekaligus
meminta Ridho ibu, aku pulang kampung dengan istri dan dua anak perempuanku.
Beberapa hari dikampung halaman, sungguh menentramkan jiwaku. Kini
kami kembali ketempat perantauan. Dengan keikhlasan dan Ridho ibu, aku kembali
bekerja, kini telah aku rasakan semua penghasilanku, dan tidak lupa untuk
memberi sebagian dari hasil keringatku utnuk ibu.
*Diceritakan
oleh Zubair dan ditulis oleh Ismail (Mahasiswa STAIL Surabaya Semester VII)
kepada Suara Hidayatullah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar