Selasa, 10 September 2019

Ibumu Duniamu, Ibumu Akhiratmu



November 2007, hari itu aku membawa keluarga kecilku keluar dari kampung halaman yang hampir sebagian besarnya dihuni oleh keluargaku sendiri. Tidak terlalu jauh jaraknya, hanya berpindah dari desa menuju perkotaan dengan jarak tempuh dua sampai tiga jam dengan kecepatan maksimal. Dengan membawa barang yang tidak terlalu banyak karena sebagian telah terjual bersama rumahku.
Aku akui memang sangat berat meningglkan kampung halaman beserta orang-orang yang sangat berarti dalam hidupku, terutama Ibuku. Saat-saat terakhir aku berpamitan dengan ibu, ia berucap dalam tangisnya, “nak, jaga baik-baik keluargamu dan anak-anakmu.” Tak banyak yang ibu berikan padaku melainkan hanya do’a dan sehelai sarung batik miliknya, kemudian aku beranjak pergi.
Kini aku melanjutkan hidupku bersama keluarga kecilku yang deminya aku rela meniggalkan semua harta, kampung halaman dan bahkan keluargaku. Bukan untuk menjauh, melainkan demi keselamatan keluargaku sendiri. Sedikit bercerita tentang sebab mengapa aku memilih meninggalkan semuanya demi keselamatan keluarga kecilku. Kita semua tau kampung yang masih kental dengan berbagai adat, kebiasaan, hingga ilmu-ilmu yang dianut oleh penduduknya, bahkan ilmu hitam (sesat) sekalipun.
Beberapa tahun setelah pernikahanku dengan wanita  yang sangat aku sayangi, kami baru dikarunia tiga orang anak, dua laki-laki dan satu perempuan. Aku medapatkan pekerjaan yang memang sesuai dengan profesiku, begitu juga istriku memulai bisnis kecil-kecilannya yakni berjualan pakaian. Selang beberapa bulan Allah memberi kami rezeki yang lebih dan dengan itu kami sepakat untuk membangun rumah, tidak terlalu besar hanya berukuran 4x11.
Menyusul dengan acara khataman Qur’an anak pertamaku dengan menyembelih satu ekor sapi, lalu kami membuka bisnis rumahan yakni toko sederhana, serta membeli motor agar mempermudah pekerjaan dan bisnis istriku. Tak cukup itu semua, Allah mengaruniai kami lagi dengan seorang anak perempuan, yang kemudian Aqiqohnya diselenggarakan dirumah baru kami. Dibalik itu semua istriku selalu mengingatkan jangan lupa bersyukur kepada Allah SWT atas semua yang telah IA berikan.
Hingga pada suatu hari, anak keempat kami jatuh sakit, bisnis merosot, serta banyak kejadian-kejadian ganjil yang terjadi dikeluargaku.tak sampai disitu, istriku sempat mendengar dari beberapa warga kampung tentang isu-isu mengenai keluarga kami yang serba berkecukupan. Bahkan saat istriku sedang berjualan pakaian keliling salah seorang warga bertanya kepadnya, “bu, ibu pakai ilmu apa sampai jadi kaya begitu, ibu pakai ilmu hitam ya?”. Istriku kaget mendengarnya, lansung kembali kerumah dengan air mata bercucuran.
Dengan keadaan yang sangat rumit untuk keluarga kami, ditambah anakku yang tak kunjung sembuh. Kami memutuskan untuk mengundang salah seorang ustadz yang masih termasuk keluarga kami juga. Saat sedang berbincang-bincang diruang tamu kejadian aneh terjadi, tiba-tiba saja paku berukuran 7cm yang telah berkarat jatuh diatas meja kaca tepat ditengah-tengah kami.
Bebrapa hari setelah itu banyak kejadian aneh yang terjadi, dan pada suatu sore, aku sedang membersihkan taman bunga milik istriku, karena melihat bunga yang paling besar ditaman tersebut  tiba-tiba layu dan mati. Setelah menggali hingga ke  akar, sangat terkejut dengan apa yang aku temukan dibawah bunga tersebut. Sebuah benda yang terbungkus dengan kain kafan dan terikat seperti mayat. Ternyata benda tersebut berisikan tulang manusia, jarum, potongan benang, potongan surat yasin, dan beras pulut tiga warna, serta bebrapa helai rambut manusia.
Halaman rumahku ramai sore itu, hingga menjelang matahari terbenam, ustadz yang kerap disapa tete atek (tete dalam Bahasa kami yang artinya kakek), datang kerumahku, begitu juga keluarga dan orang-orang terdekatku. Bercerita mengenai hal tersebut, dan kejadian-kejadian yang telah banyak terjadi di rumahku dan keluargaku. Menurut beberapa orang tua didalam keluargaku yakni ada orang yang telah iri hati pada keluargaku, hingga melakukan hal tersebut dan mengakibatkan banyak masalah yang terjadi dalam keluargaku, bahkan keputusan akhir dari diskusi malam itu bahwa jika tidak segera meniggalkan rumah ini maka harta benda kami akan lenyap atau anggota keluargalah yang lenyap (meniggal). Tanpa berfikir panjang aku lebih memilih keselamatan keluargaku dan pergi meniggalkan rumahku.
Kami melanjutkan hidup dikota, tidak terlalu lama tingaal diperkotaan, kurang lebih dua tahun, aku memutusakan untuk membawa keluargaku hidup dirantauan orang. Berpindah menuju Kalimantan yang dekat dengan perbatasan Malaysia-indonesia. Dan memulai semuanya kembali dari awal bersama istri dan anak-anakku. Dengan bekal pengalaman yang kumiliki, aku berusaha menghidupi keluargaku dengan seadanya. Hingga Allah kembali memberi pertolonganNYA, aku mendapat pekerjaan yang lagi-lagi sesuai dengan profesiku.
Hidup bertahun-tahun dikampung orang dan belum pernah kembali kekampung halaman, dengan pendapatanku yang bisa dibilang lumayan, keadaan keluargaku kembali membaik. Aku mulai sibuk dengan pekerjaanku dan bisa dibilang aku tidak lagi memikirkan keluargaku dikampung. Hingga pada suatu hari ada hal-hal yang mengganjal perasaanku, dengan hasil keringatku yang memadai. Aku berfikir, apa yang telah aku hasilkan? Dari semua pendapatanku, aku merasa seperti tidak merasakan hasil keringatku selama ini. Ada apa dibalik semua ini?.
Kembali memikirkan semua yang telah aku perbuat, hingga terbesit satu nama dalam benakku, orang yang sangat bersikeras melarangku untuk merantau hingga keluar pulau, apalagi sampai mendekati negara tetangga. Namun aku tetap pergi membawa keluargaku merantau.
Ibuku, dengan mata yang mulai mengalirkan air dan sambil melafazkan “maafkan aku buk”. Dengan dikuatkan oleh istriku, kami berencana untuk segera mengunjungi ibuku yang sekian lama tidak pernah aku hubungi. Dengan sekaligus meminta Ridho ibu, aku pulang kampung dengan istri dan dua anak perempuanku.
Beberapa hari dikampung halaman, sungguh menentramkan jiwaku. Kini kami kembali ketempat perantauan. Dengan keikhlasan dan Ridho ibu, aku kembali bekerja, kini telah aku rasakan semua penghasilanku, dan tidak lupa untuk memberi sebagian dari hasil keringatku utnuk ibu.
*Diceritakan oleh Zubair dan ditulis oleh Ismail (Mahasiswa STAIL Surabaya Semester VII) kepada Suara Hidayatullah

Ibumu Duniamu, Ibumu Akhiratmu

November 2007, hari itu aku membawa keluarga kecilku keluar dari kampung halaman yang hampir sebagian besarnya dihuni oleh keluargaku se...